Dikuntit Intel Jepang

Tahun 2001. Saya masih tinggal di Kumamoto, Jepang. Suatu hari ada orang Jepang menelepon ke apartemen saya. Ia mengaku mendapat nomor telepon saya dari International Center. Saya ingat, saya pernah memasang pengumuman, tawaran mengajar privat bahasa Inggris atau bahasa Indonesia. Saya mencantumkan nomor telepon saya di situ. Si penelepon ini tak hendak belajar. Ia hanya ingin berteman dan mengenal budaya Indonesia. Ia mengajak saya bertemu di sekitar kampus untuk makan siang. Pertemuan itu saya setujui. Kami bertemu, makan siang, berbincang, lalu bubar.

 

Setelah itu dia rutin menelepon saya, minimal 2 minggu sekali. Padahal kalau bertemu juga tidak banyak pembicaraan tentang Indonesia. Dia lebih banyak bertanya soal aktifitas kami mahasiswa muslim di Kumamoto. Saya jawab seadanya. Tapi saya tidak berminat lagi untuk berteman dengan orang ini. Rasanya aneh. Tadinya saya menduga dia ini gay. Maka, dengan berbagai alasan itu saya putuskan untuk tidak meladeni permintaan dia. Waktu-waktu berikutnya selalu saya tolak undangan dia dengan alasan sibuk.

 

Selang beberapa bulan setelah itu dia menelepon, meminta dengan sangat untuk bertemu saya. Tak nyaman sebenarnya, tapi saya temui juga. Rupanya dia hendak pindah ke kota lain, dan dia memperkenalkan saya kepada temannya, yang juga tertarik pada Indonesia. Wah, saya makin merasakan aneh. Mereka berdua menawarkan, kalau saya butuh bantuan saya diminta menghubungi, dia akan membantu. Teman yang diperkenalkan ini terlihat lebih ramah dan bersahabat. Saya iyakan saja, meski saya curiga.

 

Suatu hari saat makan siang saya tanya saja dia secara terus terang. “Sebenarnya Anda ini siapa, dan mau apa?” tanya saya. Agak kaget dia, tapi kemudian dia menjawab pertanyaan saya. Dengan jujur. Dia, dan teman dia yang sudah pindah itu, adalah intel. Di Jepang mereka disebut “kouan keisatsu”. Tugasnya adalah memantau situasi keamanan publik, mengumpulkan informasi tentang ancaman keamanan yang mungkin timbul. Persis tak lama setelah peristiwa 9/11, tugas mereka semakin diperketat.

 

Mengapa saya didekati? Karena saya seorang muslim, dan saya waktu itu adaah ketua Moslem Student Association. Tapi saya justru menjadi tenang setelah semua jelas. Aktivitas kami murni ibadah ritual, jadi tak ada yang perlu saya rahasiakan. Malah saya ajak dia untuk ikut melihat salat Jumat kami, tapi dia menolak. Yang jelas saya tahu dia punya kepentingan, saya tak sungkan lagi untuk minta bantuan. Ada take and give, pikir saya.

 

Saat saya butuh kendaraan, saya minta dia datang dengan mobil untuk mengantar saya. Waktu anak saya lahir, saya lupa memohon visa buat dia. Saya baru sadar 6 bulan kemudian, dan anak saya sudah dinyatakan overstay sejak lahir. Waktu itu saya harus mengurus masalah ini ke Fukuoka, 2 jam perjalanan dari Kumamoto. Saya telepon orang ini untuk berkonsultasi. Entah bagaimana ceritanya, tak lama setelah itu ada telepon dari kantor imigrasi yang memberi tahu saya bahwa saya tidak perlu ke Fukuoka, urusan cukup diselesaikan di kantor imigrasi setempat.

 

Banyak lagi bantuan yang dia berikan kepada saya. Dan setiap ditanya soal aktivitas kami, selalu saya jawab dengan jujur. Waktu saya pulang liburan ke Indonesia, saya minta dia mengantar sampai ke airport di Fukuoka. Waktu pulangnya dia juga menjemput. Nah, saat saya hendak berangkat, dia menyerahkan amplop. Saya tanya, ini apa? Dia jawab, sejumlah uang. Untuk apa? Dia membutuhkan informasi tentang aktivitas Islam garis keras di Indonesia. Dia minta saya mencarikan kontak. Saya tolak. Bukan apa-apa, saya memang tidak punya kontak itu. Tapi dia bilang, bawa saja uang itu, untuk nraktir teman-teman yang bisa memberi informasi. Dengan perasaan aneh amplop itu saya terima.

 

Di Jakarta saya kebetulan bertemu dengan kawan, seorang aktivis Hizbut Tahrir yang bekerja sebagai pengacara. Saya ceritakan kejadian itu. “Kasih saja nomor saya, suruh dia telepon saya. Biar saya beri dia informasi yang dia butuhkan.” kata teman saya itu. Dengan itu saya merasa nyaman membuka amplop tadi dan memakai uangnya.:D

 

Sepulangnya saya ke Jepang saya serahkan kartu nama teman saya tadi, dan meminta intel tadi untuk menghubungi dia. Tapi dia meminta saya untuk mendampingi sebagai penerjemah. Saya tolak permintaan itu. Tak lama setelah itu saya membeli mobil dan tidak butuh lagi bantuan-bantuan dari dia, saya tolak telepon dan undangan dari dia. Sejak itu kemudian kontak kami semakin jarang. Lalu dia berhenti mengontak saya.

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

Nakano San

Saya hendak bercerita tentang sosok yang berperan cukup penting pada studi saya di Jepang. Namanya Kyouko Nakano. Kami biasa memanggil dia Nakano san. Orang-orang yang kuliah di Jepang denga beasiswa STAID mungkin banyak yang kenal dengan dia. STAID adalah program pengiriman pelajar untuk belajar di negara-negara maju yang merupakan program yang dicanangkan oleh Menristek Habibie pada era 80-90-an. Dia adalah seorang konsultan pada Japan Indonesia Forum for Science and Technology (JIF). Lembaga ini memberikan semacam pendampingan bagi mahasiswa yang dikirim oleh negara untuk belajar ke Jepang. Mulai dari pelatihan bahasa Jepang, juga mencarikan universitas yang cocok, serta profesor pembimbing. Lembaga ini juga melakukan kegiatan yang serupa di Malaysia.

Belakangan mereka juga menyelenggarakan Asian Youth Fellowship (AYF) Program. Ini adalah program beasiswa untuk pelajar dari 10 negara ASEAN plus Bangladesh, untuk studi di Jepang pada Jenjang master dan doctor. Setiap negara diberi jatah 2 pelajar per tahun. Saya adalah peserta angkatan pertama program ini pada tahun 1996. Kami menjalani pelatihan bahasa Jepang selama setahun di Malaysia, dan setelah itu melanjutkan studi dengan beasiswa Monbusho (sekarang Monbukagakusho) di Jepang.

Nakano san ketika itu membantu saya memilih universitas tempat belajar, juga menghubungkan saya dengan calon profesor pembimbing. Saya ingat betul, saat saya menempuh ujian masuk, saya datang langsung dari Kuala Lumpur ke Sendai, tempat tujuan belajar saya, yaitu Tohoku University. Dia yang mengatur semua urusan perjalanan saya dari Tokyo ke Sendai, juga mengatur penginapan saya selama di sana.

Usai program AYF sebenarnya kami adalah mahasiswa Monbusho biasa. Tidak perlu ada ikatan khusus dengan JIF. Tapi karena merasa bertanggung jawab, JIF tetap melakukan pemantauan, dan memberikan bantuan kalau diperlukan. Bantuan itu macam-macam bentuknya. Saya, ini agak memalukan sebenarnya, sempat beberapa kali pinjam uang ke JIF untuk berbagai keperluan. Pernah untuk pindah apartemen, yang memerlukan biaya tak sedikit. Pernah pula saya pinjam uang untuk keperluan mudik. Semua itu saya cicil pembayarannya dari tabungan sisa beasiswa. Saat JIF tak lagi bisa memberikan pinjaman, pernah Nakano san meminjami saya uang dari kantong pribadinya.

Ada kisah yang sangat mengharukan, tentang seorang teman saya, orang Filipina. Dia satu angkatan dengan saya, dan kebetulan belajar di universitas yang sama. Di masa studinya, menjelang selesai master, ia mengalami masalah kesehatan. Ia merasa sakit di tulang punggung, sehingga studinya mengalami gangguan. Ia menyerah, memutuskan untuk berhenti kuliah. Ia membagikan semua barang miliknya, lalu berangkat ke Tokyo dengan maksud pulang ke Filipina.

Di Tokyo Nakano san menahannya. Ia mencarikan dokter dan rumah sakit, lalu teman saya itu mendapat perawatan. Dan akhirnya dia sembuh. Sebagian biaya berobat waktu itu diusahakan oleh Nakano san, sehingga JIF bisa memberikan bantuan. Teman saya itu sukses menyelesaikan master, bahkan melanjutkan studinya hingga doktor.

Setelah saya lulus, bahkan setelah pulang ke Indonesia, saya sempat beberapa kali ketemu Nakano san. Saat itu ia sudah tidak lagi bekerja untuk JIF (waktu itu sudah berganti nama menjadi Asia SEED). Ia bekerja sebagai konsultan JICA di ITS, melalui proyek PREDICT. Waktu saya masih bekerja sebagai Visiting Associate Professor di Tohoku University tahun 2006, Nakano san kebetulan berkunjung ke Tohoku untuk urusan pekerjaan beliau. Saat itu dia menyempatkan diri untuk makan siang dan berbincang santai. Dia sangat senang dengan pencapaian saya ketika itu.

Setahun kemudian saya bertemu dengan Nakano san di Jakarta. Pernah dia secara khusus terbang dari Surabaya ke Jakarta, sekedar untuk bertemu dan berbincang dengan saya. Dia juga pernah berkunjung ke perusahaan tempat saya bekerja sekarang.

Dalam setiap pertemuan kami banyak berdiskusi, terutama tentang pendidikan tinggi di Indonesia. Nakano san, karena pekerjaannya, berinteraksi cukup intens dengan kalangan pendidikan di Indonesia. Dan dia memiliki beberapa mimpi yang ingin dia wujudkan. Sesekali kami mengenang masa lalu. Kadang rasanya tak percaya. Dulu saya hanyalah calon mahasiswa yang hendak kuliah di Jepang. Ketika kemudian kami bertemu, kami sudah dalam posisi yang sama sekali berbeda.

Tak sedikit orang lain yang mengenang Nakano san seperti saya mengenang dia. Dia begitu tulus dalam memberikan bantuan. Melampaui tuntutan profesi yang dia sandang. Dalam kasus teman saya orang Filipina tadi, Nakano san bahkan mampu menyelamatkan masa depannya.

Kita, dalam bekerja, mungkin banyak berinteraksi dengan orang lain. Sesekali mungkin kita membantu orang melebihi apa yang harus kita lakukan. Mungkin kita tidak sadar, kita telah melakukan sesuatu yang besar bagi orang tersebut. Jadi, teruslah melakukan hal itu.

http://berbual.com

Bersama Nakano san di Simposium dalam rangka peringatan 50 tahun hubungan diplomatik Indonesia Jepang

https://budayajepang.wordpress.com

Dipublikasi di Persona | Meninggalkan komentar

Tatsujin dan Shokunin

TPI yang sudah berganti nama menjadi MNC TV sekarang menyiarkan acara bernama TV Champion. Ini adalah acara yang diadopsi dari sebuah stasion TV Jepang, yaitu TV Tokyo. Di acara ini orang dengan berbagai profesi bertanding menunjukkan keahliannya, terkadang dengan cara yang tidak lazim. Para pengemudi traktor, misalnya, disuruh memotong sayuran dan mempersiapkan masakan tidak dengan tangan, tapi dengan traktor yang dia operasikan. Sekilas ini seperti sedang main-main. Tapi ada hal penting di situ, yaitu orang-orang itu menunjukkan keahlian mereka sampai pada tingkat ekstrim. Orang-orang yang menekuni sesuatu hingga keahlian mereka mencapai tingkat istimewa atau ekstrim dalam bahasa Jepang disebut tatsujin.

Kata tatsujin terdiri dari dua huruf kanji, yaitu tatsu (達) yang artinya jadi, lebih, atau maju, dan jin (人) yang artinya orang. Seperti disinggung di atas, tatsujin adalah orang yang menguasai suatu teknik secara ekstrim. Ini bisa berlaku untuk apa saja, baik yang merupakan keahlian dalam pekerjaan maupun untuk hal-hal yang bukan pekerjaan, seperti permainan. Misalnya orang yang pandai bermain yoyo, maka dia disebut yoyo no tatsujin. Khusus untuk orang yang ahli dalam mengerjakan suatu pekerjaan disebut shokunin.

Kata shokunin terdiri dari dua huruf kanji, yaitu shoku (職) yang artinya pekerjaan, dan nin (人) yang artinya orang. Secara lateral artinya seseorang yang melakukan pekerjaan. Istilah ini biasanya dilekatkan pada seseorang yang mengerjakan sesuatu dengan tangan, yang dalam istilah kita disebut perajin. Karena mereka melakukan hal yang sama secara berulang dan terus menerus, ketrampilan tangannya mencapai tingkat yang ekstrim. Teknik ekstrim yang dimiliki oleh seorang shokunin biasanya disebut shokunin no waza. (Waza (技) artinya teknik.) Itulah yang biasanya dipamerkan pada acara TV Champion yang saya singgung tadi.

Sebagaimana terjadi juga di negara lain, era shokunin adalah era sebelum revolusi industri. Orang mengerjakan sesuatu dengan tangan, dibantu dengan peralatan kerja sederhana. Dalam situasi itu ketrampilan tangan menjadi kunci kualitas dan kuantitas produk.

Keahlian shokunin ditransfer kepada orang lain dengan prinsip totei-seido (徒弟制度) di mana seseorang hendak belajar suatu teknik (orang tersebut disebut desi (弟子) atau murid), berguru kepada shokunin melalui praktik kerja. Ia akan bekerja sambil belajar, menempuh suatu masa tertentu, sampai mencapai tingkat keahlian tertentu, dan siap menjadi shokunin baru.

Profesi atau derajat shokunin adalah sebuah kebanggaan. Kebanggaan terletak bukan pada tercapainya suatu tingkat keahlian, melainkan pada kualitas barang yang dihasilkan. Seorang shokunin puas bila ia bisa menghasilkan produk yang berkualitas tinggi. Bahkan ia akan mengejar suatu kualitas yang hanya dia yang bisa menghasilkannya.

Di era modern tentu saja sistem produksi berubah. Kini barang-barang dibuat dengan prinsip mengejar kuantitas produksi. Untuk itu digunakan mesin-mesin produksi. Dalam hal ini kualitas dan kuantitas produk barang tidak lagi ditentukan oleh manusia, tapi oleh mesin. Manusia lebih banyak berperan dalam mengoperasikan mesin belaka.

Pada industri modern Jepang semangat shokunin ini diabadikan pada semangat untuk membuat produk-produk berkualitas. Alat dan teknik pengerjaan produk boleh berubah, tapi semangat untuk menciptakan produk berkualitas tetap dipelihara sebagai budaya perusahaan.

https://budayajepang.wordpress.com

 

 

Dipublikasi di Kerja | 3 Komentar

Arigato, Nippon! Ganbare, Nippon!

Seminggu sebelum gempa dan tsunami menghantam Jepang, saya kedatangan tamu. Tamu saya seorang peneliti dari Tohoku University, universitas tempat saya kuliah S2-S3. Dia hendak melakukan penelitian sosiologi di Karawang, yang kebetulan lokasinya tak jauh dari tempat tinggal dan kantor saya. Tim peneliti terdiri dari 30 orang, terdiri dari satu orang professor, asisten profesor, peneliti, dan selebihnya mahasiswa.

 

Peneliti dari Tohoku University tadi saya kenal sejak akhir tahun lalu. Ketika itu ada pameran pendidikan Jepang, dan universitas tersebut membuka gerai pameran. Sebagai seorang alumnus saya ikut serta menjaga gerai tersebut. Peneliti itu sangat berterima kasih atas bantuan saya saat itu. Tapi saya katakan bahwa hal itu sudah menjadi kewajiban saya.

 

Saat dia datang kedua kalinya, tak banyak bantuan yang dia butuhkan. Namun kemudian ada dua orang anggota tim peneliti yang sakit, dan harus dibawa ke Jakarta. Dari pemeriksaan dokter memutuskan kedua orang itu harus menjalani rawat inap. Mereka sepertinya terserang demam berdarah. Untuk keperluan mengurusi orang sakit itu dia memerlukan mobil. Lalu saya sediakan mobil untuk keperluan itu, selama beberapa hari.

 

Ketika semua urusan ini selesai, dan tim peneliti kembali ke Jepang, tamu saya tadi mengirim email, mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya atas bantuan saya. Saya merasa senang karena bisa membantu, walau nilai bantuan saya itu tak seberapa.

 

Saat terjadi gempa saya langsung menelepon Sensei, profesor pembimbing waktu saya kuliah dulu. Tapi teleponnya tak bisa saya hubungi. Demikian pula beberapa teman (orang Jepang) yang lain. Petangnya baru saya tahu sebabnya: listrik mati di semua wilayah yang terkena gempa. Beberapa hari kemudian barulah saya bisa menghubungi mereka. Syukur, mereka semua dalam keadaan sehat, tidak cedera, dan tidak menderita kerugian yang berarti.

 

Saat saya telepon umumnya mereka kaget. Kaget karena sepertinya jarang mendapat telepon dari luar negeri. Tapi juga kaget karena merasa mendapat perhatian yang begitu besar dari saya.

 

Dua kejadian di atas adalah wujud dari ikatan batin yang kuat, yang saya rasakan kepada Jepang dan orang-orang Jepang. Tulisan ini hendak bercerita tentang bagaimana ikatan itu terbentuk.

 

Tahun 1997 bulan April saya berangkat ke Jepang sebagai calon mahasiswa S2. Kota tujuan saya adalah Sendai, di mana kampus Tohoku University berada. Pagi hari kami rombongan mahasiswa yang mendapat beasiswa Monbusho (kini Monbokagakusho) berjumlah sekitar 50 orang mendarat di bandara Narita. Di situ kami disambut oleh petugas dari Association of International Education Japan (AIEJ, kini JASSO) yang mengatur perjalanan kami ke kota tujuan masing-masing.

 

Petang hari baru saya tiba di kotan tujuan, Sendai, setelah menempuh perjalanan 2 jam dengan shinkansen dari Tokyo. Sebelumnya saya menempuh perjalanan Narita-Tokyo yang juga menghabiskan waktu 2 jam. Di stasiun Sendai saya dijemput oleh mahasiswa yang diutus oleh Sensei. Hari itu saya bertemu Sensei sebentar, kemudian diantar oleh mahasiswa tadi menuju asrama mahasiswa asing.

 

Universitas menyediakan sarana asrama bagi mahasiswa asing, khususnya untuk mahasiswa yang baru datang. Hanya setahun kita boleh tinggal di situ. Tapi itu sangat membantu. Saat pertama kali datang, kita tak tahu di mana harus mencari apartemen untuk memulai hidup baru. Dengan adanya asrama ini kesulitan itu bisa diatasi. Asrama sudah dilengkapi dengan perabot, termasuk dapur kecil dan kompor. Tapi peralatan masak seperti panci serta piring, kita harus beli sendiri.

 

Hari-hari pertama di Sendai adalah hari-hari untuk melengkapi berbagai kebutuhan. Jepang adalah negara yang serba mahal. Kalau semua hendak dibeli baru, beasiswa kita tak akan cukup. Maka berbagai cara ditempuh. Salah satunya dengan memanfaatkan layanan berbagai organisasi volunteer. Mereka mengumpulkan barang-barang bekas dari orang-orang Jepang, lalu menjualnya dengan harga murah melalui bazaar.

 

Kelak ketika sudah makin banyak kenal dengan orang Jepang, saya banyak menerima pemberian  barang-barang yang saya perlukan. Saat istri saya hamil, misalnya, saya memasang pengumuman bahwa saya membutuhkan barang-barang keperluan bayi. Hasilnya, beberapa orang datang mengantarkan berbagai jenis barang ke apartemen saya. Semuanya diberikan gratis. Beberapa barang itu masih saya simpan hingga saat ini.

 

Tentu yang saya terima bukan hanya barang-barang belaka. Beberapa bulan sejak kedatangan saya ke Jepang, istri saya menyusul. Saya sudah mahir berbahasa Jepang sebelum keberangkatan. Istri saya sama sekali tidak bisa. Hidup di suatu tempat di mana bahasa di sekelilingnya tidak dia pahami adalah masalah besar buat istri saya. Lagi-lagi kami tertolong oleh volunteer. Ada volunteer, ibu rumah tangga yang dengan suka rela datang ke apartemen kami, mengajari istri saya bahasa Jepang. Tak cuma itu. Dia juga sesekali membawa istri saya pergi ke luar, belanja atau makan bersama.

 

Makin lama kami bermukim, makin banyak teman. Makin banyak dan beragam pula bantuan yang kami peroleh. Ketika kami baru punya bayi, saat itu puncak kesibukan saya sebagai mahasiswa. Saya sering pergi ke luar kota. Berat rasanya meninggalkan istri dengan bayi yang baru lahir, sendiri, dengan keterbatasan bahasa. Untunglah ada kenalan kami, seorang ibu yang mau menginap beberapa hari di apartemen saya, menemani istri saya selama saya pergi. Dan itu dilakukannya beberapa kali.

 

Mengasuh bayi yang baru lahir bagi kami ketika itu adalah hal yang juga tidak mudah. Banyak hal yang tidak kami ketahui. Dalam hal itupun kami banyak mendapat bantuan. Termasuk dari dokter dan perawat di rumah sakit tempat anak kami lahir. Beberapa kali saya menelepon ke rumah sakit, bertanya tentang urusan perawatan bayi. Tentang hal-hal yang sepele bagi orang yang sudah berpengalaman. Mereka selalu menjawab dengan baik, bahkan saat saya menelepon tengah malam sekalipun.

 

Begitulah. Saya merasa sangat berterima kasih, bukan sekedar karena saya mendapat beasiswa untuk belajar di Jepang hingga ke jenjang doktoral. Bukan pula karena saya mendapat banyak bantuan materi. Tapi karena antara saya dengan Jepang, dengan orang-orang Jepang, telah terbentuk hubungan kemanusiaan yang sangat kuat. Orang-orang yang tidak punya hubungan darah dengan kami. Yang berbeda bangsa. Tapi telah dengan tulus mengulurkan berbagai bantuan, seakan kami ini anak-anak mereka sendiri.

 

Maka saya tak segan memanggil okaasan (ibu)/otousan (bapak)  kepada beberapa orang yang saya kenal. Rasanya mereka memang sudah seperti ibu bapak kandung sendiri. Anak-anak saya juga saya ajari untuk memanggil mereka obaasan (nenek) dan ojiisan (kakek). Pada suatu kesempatan perayaan Hari Ibu, kami mengirim bunga kepada ibu-ibu itu. Mereka menerimanya dengan tangisan haru.

 

Bantuan kecil yang saya ceritakan di awal tulisan ini rasanya tak sebanding dengan apa yang pernah saya terima selama 10 tahun bermukim di Jepang. Saat Jepang dilanda bencana seperti ini, ingin rasanya memberi lebih banyak dan lebih banyak lagi bantuan.

 

Terima kasih, Jepang.

Arigato Nippon. Gambare Nippon!

 

http://berbual.com/

 

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

Aisatsu: A business greeting

Salam, sapaan atau greeting, yang dalam bahasa Jepang disebut aisatsu sangat penting dalam budaya Jepang. Dalam konteks kehidupan sehari-hari soal aisatsu ini sudah pernah pernah saya bahas dalam tulisan sebelumnya. Kali ini saya akan membahas aisatsu dalam konteks bisnis.

Dalam konteks binis aisatsu tidak hanya soal sapaan verbal belaka, tapi bentuknya berupa kegiatan sowan. Saat perusahaan saya mendapat order dalam jumlah yang cukup besar dari perusahaan lain, presiden direktur menyempatkan diri berkunjung ke Indonesia untuk menemui pimpinan perusahaan pemberi order tadi, untuk sowan. Hanya untuk keperluan itu dia datang dari Jepang. Dalam kesempatan itu disampaikan ucapan terima kasih atas kepercayaan yang diberikan kepada kami, disertai harapan agar kerja sama bisnis tersebut dapat berlangsung dalam jangka panjang dan saling menguntungkan.

Saya juga sering berhubungan dengan perusahaan Jepang di Indonesia. Hubungan bisa dimulai secara top down, di mana sesama ekspatriat Jepang saling bertemu, sepakat untuk bekerja sama, lalu memerintahkan struktur di bawahnya untuk melakukan tindak lanjut. Tapi bisa juga struktur di bawah yang membuat kesepakatan. Saat kerja sama akan atau mulai berjalan biasanya orang Jepang yang menjadi atasan akan datang untuk menyampaikan aisatsu.

Salesman perusahaan juga sering datang untuk memperkenalkan produk maupun layanan. Hal tersebut juga dikategorikan aisatsu.

Aisatsu juga biasanya dilakukan oleh orang yang baru bertugas, dan orang yang hendak mengakhiri masa tugas. Mereka biasanya datang berbarengan. Si pendahulu datang berpamitan, sekaligus memperkenalkan penggantinya. Mereka mendatangi pelanggan, juga pihak-pihak yang banyak terlibat membantu urusan bisnis. Orang yang lebih muda (kouhai) juga harus mendatangi yang lebih tua (senpai).

Di luar itu, secara periodik orang Jepang akan sowan untuk menyampaikan aisatsu pada kesempatan khusus, seperti tahun baru. Atau setiap beberapa bulan, bila diperlukan.

Secara keseluruhan aisatsu adalah media untuk menjaga hubungan baik (tsukiai). Melalui aisatsu ini komunikasi dibina. Pelanggan dapat menyampaikan keluhan, atau kebutuhan mereka. Dengan cara ini hubungan bisnis jangka panjang dapat dibina.

Kelalaian dalam menyampaikan aisatsu bisa dianggap sebagai pelanggaran tata krama (shitsurei). Ini bisa berakibat fatal, seperti terputusnya hubungan bisnis.

https://budayajepang.wordpress.com

Dipublikasi di Uncategorized | 1 Komentar

Sindroma Sazae san

“Ooki na sora wo nagametara, shiroi kumo ga tonde ita. Kyou wa tanoshiiiiiii………..”

 

 

Teks dalam bahasa Jepang yang saya kutipkan di atas tak perlu saya terjemahkan. Karena kalaupun saya terjemahkan tak akan banyak manfaatnya bagi pembaca. Lebih penting untuk menjelaskan dari mana teks itu berasal.

 

Teks tersebut adalah potongan lagu ending theme pada serial animasi Sazae san. Sazae san adalah tokoh kartun ciptaan Machiko Hasegawa, pertama kali dipublikasikan di Fukunichi Shinbun tahun 1946. Kemudian serial kartun ini dibeli oleh koran terkemuka, Asahi Shinbun pada tahun 1949. Dan Hasegawa terus menerbitkan kartun-kartunnya di Asahi Shinbun hingga akhir hayatnya di tahun 1972. Belakangan、mulai tahun 1969 tokoh ini muncul sebagai tokoh animasi di Fuji TV, dan hingga kini masih disiarkan.

 

Tokoh utama dalam cerita ini, Sazae, adalah putri tertua dari Namihe Isono. Ia sudah menikah dengan Matsuo Fuguta, dan mempunya seorang anak berusia 4 tahun, bernama Tara. Uniknya, dia masih punya dua orang adik, laki-laki (Katsuo) dan perempuan (Wakame) yang masih berusia sekolah dasar.

 

Serial ini bercerita tentang keluarga Jepang versi lama. Versi ketika Jepang sedang masuk ke era pertumbuhan ekonomi. Nilai-nilai modern mulai masuk, tapi di berbagai keluarga tradisi tua masih bertahan. Saya menyukai serial animasi Sazae san karena alasan ini. Sazae san, seorang ibu muda, tinggal bersama satu atap dengan orang tuanya. Berdua dengan ibunya (Fune) mereka tidak bekerja, hanya mengurus rumah saat suami dan ayahnya bekerja. Keduanya, suami dan ayahnya, adalah karyawan perusahaan, salary man yang dalam bahasa Jepang disebut sarari man. Inilah yang paling tipikal masa lalu. Di masa kini sudah lebih banyak perempuan Jepang yang bekerja.

 

Sazae san adalah karakter yang unik. Ia termasuk perempuan yang banyak bicara, sedikit galak terhadap suami, merasa dirinya cantik. Ini mungkin mewakili sosoknya sebagai seorang perempuan yang sudah menikah. Tapi ia juga masih menyimpan sifat kekanakan. Karenanya dia masih sering bertengkar dengan kedua adiknya yang masih duduk di sekolah dasar.

 

Lalu, apa pula itu sindroma Sazae san? Ini tidak ada hubungannya dengan karakter maupun isi cerita serial animasi Sazae san. Hubungannya lebih ke jam tayang acara ini di TV. Serial ini disiarkan jam 6.30, Minggu malam. Artinya ini sudah di penghujung akhir pekan. Saat acara ini selesai, dan penggalan lagu ending theme tadi berkumandang, itu jadi petanda bahwa kita harus bersiap untuk istirahat dan kembali bekerja keesokan harinya. Khususnya pada suasana usai libur panjang, lagu Sazae san itu bak siraman air dingin ke muka kita saat kita sedang mimpi indah.

 

Dalam bahasa yang lebih sering kita dengar, sindroma Sazae san adalah sindroma “I don’t like Monday”. Ia mewakili keengganan banyak orang untuk kembali ke meja kerja. Bisa jadi karena beban pekerjaan yang terasa terlalu berat. Bisa jadi pula bersifat sementara, karena kebetulan suasana tempat kerja sedang kurang bagus. Semua orang tentu pernah mengalami sindroma ini.

 

Khusus di Jepang, beban kerja memang tidak enteng, dan tidak pernah enteng. Bekerja dari pagi sampai larut malam adalah hal biasa. Di tempat kerja suasananya pun tak selalu menyenangkan. Dampratan atasan adalah hal yang hari-hari harus dihadapi. Dan itu harus diterima pula sebagai kelaziman. Artinya, kita tak boleh melawan.

 

Untuk menghadapi beban itu, biasanya orang Jepang memanfaatkan minuman keras (sake). Usai kerja biasanya mereka mampir sejenak ke kedai minum, sendirian atau bersama teman. Di situlah stress dilepaskan. Sambil minum mereka bicara. Mengeluhkan beban kerja, atau memaki-maki atasan. Pulang dalam keadaan setengah mabuk, membersihkan badan, lalu tidur. Esok mulai bekerja kembali. Begitulah siklusnya.

 

Kita pun mungkin banyak yang menghadapi situasi semacam itu, baik sifatnya permanen atau sementara. Bagaimana Anda mengatasinya? Mudah-mudahan tidak dengan bantuan sake!

 

https://budayajepang.wordpress.com/

Dipublikasi di Keluarga, Kerja, Sosial | 2 Komentar

Yoroshiku onegaishimasu

Saat anak saya hendak dibawa masuk ke ruang operasi Selasa malam lalu, saya berkata pada tim dokter yang hendak melakukan operasi, “Minta tolong, Dok.” Anak saya, usia 8 tahun, hendak dioperasi usus buntu. Sebagai ayah, tentu saya khawatir. Maka keluarlah ucapan tadi. Saya menitipkan keselamatan anak saya pada tim dokter yang menanganinya.

Reaksi yang saya terima agak di luar dugaan. Para dokter itu tertawa. Mungkin ucapan saya terdengar aneh di telinga mereka. Saya sadar akan hal itu. Ucapan saya tadi memang bukan kebiasaan orang Indonesia, tapi kebiasaan orang Jepang. Dalam budaya Jepang, saat menghadapi situasi seperti itu, saat hendak minta tolong, orang akan berkata yoroshiku onegaishimasu. Teman saya, orang Jepang di kantor, bertanya pada saya, bagaimana ungkapan itu diucapkan dalam bahasa Indonesia. Saya ajarkan dia untuk berkata “minta tolong”. Di kantor dia selalu berkata begitu saat menyuruh staf. Tapi ketika itu saya tiru, saya ditertawakan oleh para dokter.

Onegaishimasu berasal dari kata negau, artinya memohon. Bentuk formal kata kerja ini adalah negaimasu. Onegaishimasu adalah bentuk halusnya. Kata benda dari kata ini adalah negai, artinya permohonan. Harapan atau doa biasa disebut sebagai negai-goto.

Ungkapan onegaishimasu diucapkan hampir dalam berbagai kesempatan. Saat berkenalan, yang diucapkan orang Jepang setelah menyebut nama adalah yoroshiku onegaishimasu. Lengkapnya, douzo yoroshiku onegaishimasu. Pada saat tahun baru, orang mengucapkan kotoshi mo (tahun ini juga) yoroshiku onegaishimasu. Dan setiap kali minta bantuan, hendak bekerja bersama, orang mengucapkannya.

Seperti tertulis di atas, onegaishimasu selalu didahului dengan yoroshiku. Kata ini berasal dari kata sifat, yoroshii, artinya bagus, benar. Yoroshiku adalah bentuk adverb dari kata sifat tadi. Pengertian bebas, saat mengucap kata yoroshiku onegaishimasu kita sedang mengungkapkan bahwa kita sedang “memohon dengan penuh hormat, penuh harap”.

Ketika berkenalan, orang Jepang berharap itu adalah awal dari sebuah hubungan (tsukiai). Dalam hubungan itu tentu kita akan banyak membutuhkan bantuan, saling menolong. Dalam pengertian itulah ungkapan yoroshiku onegaishimasu diucapkan. Pada ucapan tahun baru, selengkapnya diungkapkan, “tahun lalu saya sudah mendapat banyak bantuan, tahun ini pun saya mohon dengan hormat”.

Begitulah. Saat meminta tolong, bahkan memerintahkan bawahan, kata itu diucapkan. Sayangnya, kita tidak punya kebiasaan itu. Saya terbiasa mengucapkannya dalam bahasa Jepang, merasa janggal kalau itu tak saya ucapkan. Ketika saya coba ucapkan dalam bahasa Indonesia, saya ditertawakan. Lain padang, lain belalang.

https://budayajepang.wordpress.com/

Dipublikasi di Uncategorized | 1 Komentar

Pelajaran Kecil dari Konosuke Matsushita

Konosuke Matsushita, pendiri Matsushita (Panasonic) group, adalah sosok yang kharismatis. Salah satu ucapan dia yang terknal adalah “Perusahaan yang memproduksi barang adalah perusahaan yang mengasuh manusia” (mono wo tsukuru kaisha wa hito wo sodateru kaisha). Artinya dia menempatkan manusia sebagai sentral dalam pengembangan perusahaan/bisnisnya. Itulah yang dia tunjukkan dalam berbagai episode kehidupannya.

Ada cerita yang sudah cukup sering ditulis di sana sini, tentang bagaimana Matsushita memilih untuk tidak mengurangi karyawan saat krisis ekonomi yang sangat dahsyat tahun 1929. Ia mengurangi produksi dengan mengurangi jam kerja karyawan, dan tetap membayar upah mereka. Menjamin karyawan dan keluarganya bisa tetap bertahan hidup di tengah krisis.

Di kemudian hari para karyawan yang dia selamatkan ini menyelamatkan dirinya. Saat Jenderal Mc Arthur menguasai Jepang, dia menahan banyak pengusaha yang terlibat dalam produksi senjata selama perang. Sebagian dari pengusaha ini melakukan hal itu karena terpaksa, di bawah tekanan rezim militer. Matsushita termasuk di antaranya. Tapi para karyawan yang diselamatkan tadi membuat petisi, meminta Matsushita dibebaskan. Akhirnya petisi ini dikabulkan.

Ada lagi cerita menarik yang saya dengar melalui sebuah stasiun TV Jepang. Suatu hari Matsushita hendak menghadiri sebuah pertemuan bisnis penting. Iya hendak menggunakan mobil, tapi sopirnya belum datang. Ia menunggu cukup lama sampai akhirnya sopir itu datang. Akibatnya ia terlambat sampai ke tempat pertemuan.

Matsushita marah besar dengan kejadian ini. Ia mengumumkan bahwa kejadian ini memalukan dan tak boleh terulang. Agar tak terulang, harus ada yang dihukum potong gaji (kalau tak salah potong sebulan gaji). Siapa yang dihukum? Ketika keputusan diumumkan, banyak orang terkejut. Ternyata Matsushita sendirilah yang dipotong gajinya. “Yang terlambat hadir di pertemuan itu saya, bukan sopir saya. Saya punya kewajiban mencari jalan agar tidak terlambat ketika sopir saya berhalangan.” begitu alasan yang dia berikan.

Di saat lain diceritakan Matsushita sedang mengamati pengunjung yang antri hendak masuk ke sebuah museum Panasonic. Terjadi antrian panjang di bawah cuaca yang cukup panas. Karena kasihan melihat pengunjung yang kepanasan itu, Matsushita mengambil beberapa lembar pamflet Panasonic, lalu membuat topi dengan kertas pamflet itu, lalu membagikannya ke pengunjung. Hal ini kemudian ditiru oleh para stafnya. Ternyata ada efek yang tak lazim dari kegiatan ini. Topi kertas berlogo Panasonic itu tetap dipakai pengunjung dalam perjalanan pulang, sehingga menjadi semacam media iklan. Kemudian pihak museum secara resmi menyediakan topi kertas berlogo Panasonic.

Pelajaran dari Matsuhita: perlakukan manusia dengan baik dalam berbisnis.

https://budayajepang.wordpress.com/

Dipublikasi di Uncategorized | 4 Komentar

Jaminan Kesehatan di Jepang

Di negara kita sering berkembang wacana untuk membebaskan biaya berobat bagi warga miskin. Niat ini boleh jadi baik. Tapi ada sisi buruknya. Karena biaya berobat gratis, orang mungkin akan lalai menjaga kesehatan. Toh kalau nanti sakit akan ada yang membayari.

Dalam hal penyediaan jaminan kesehatan, Jepang mungkin bisa jadi contoh yang baik. Di  Jepang  biaya berobat dan perawatan kesehatan tidak gratis. Orang harus membayar sekitar 30 % dari total biaya saat berobat. Sisanya dibayar oleh asuransi. Program asuransi kesehatan ini sendiri adalah program yang wajib diikuti oleh semua penduduk, termasuk warga asing yang bermukim di Jepang.

Perlindungan terhadap warga yang kurang mampu terlihat pada premi asuransi. Untuk warga yang kurang mampu diberikan potongan hingga 70-80%. Dengan potongan ini keluarga dengan 2 orang anak hanya perlu membayar sekitar 3000 yen per bulan (sekitar 300,000 rupiah dengan kurs sekarang). Tanpa potongan premi asuransi bisa mencapai 21,000 yen.

Bagaimana mengukur kemampuan seseorang? Dasarnya adalah laporan pembayaran pajak setiap tahun. Di situ akan terlihat berapa penghasilan seseorang serta berapa tanggungannya. Cara perhitungannya sendiri sedikit berbeda antara satu tempat dengan yang lain. Rata-rata seseorang harus mengeluarkan sekitar 7,5-8,5% dari penghasilannya untuk dibayarkan sebagai biaya asuransi kesehatan.

Bagi orang yang tidak punya penghasilan, biaya asuransi adalah seperti yang saya tuliskan di atas. Beasiswa tidak termasuk kategori penghasilan, karena tidak dikenai pajak penghasilan. Karena itu mahasiswa asing yang sedang belajar di Jepang hanya diwajibkan membayar asuransi sebanyak yang dibayarkan orang tanpa penghasilan, meski beasiswa yang mereka terima terbilang cukup banyak.

Waktu saya masih tinggal di Jepang dulu biaya berobat untuk anak-anak gratis sama sekali. Untuk rawat jalan sampai usia 4 tahun, sedangkan untuk dokter gigi dan rawat inap gratis hingga anak berusia 5 tahun. Kini sepertinya peraturan ini sedikit berubah. Untuk anak-anak tetap harus membayar sekitar 10% saat berobat.

Ada hal menarik lagi. Biaya melahirkan di rumah sakit tidak ditanggung asuransi. Artinya orang harus membayar sendiri. Tapi sebagai ganti asuransi akan memberikan bantuan sekitar 350,000 yen. Uang ini biasa dipakai untuk biaya melahirkan.

Di luar itu, pemerintah Jepang memberikan bantuan untuk pengasuhan anak. Dulu anak pertama dan kedua masing-masing menerima 5,000 yen per bulan. Anak ketiga dan selanjutnya mendapat 10,000 yen per bulan per anak. Kini kabarnya angka tunjangan itu akan diperbesar untuk merangsang orang punya anak, karena Jepang mulai kekurangan penduduk.

https://budayajepang.wordpress.com

Dipublikasi di Sosial | 1 Komentar

Seks dalam Masyarakat Jepang

Salah satu acara TV yang sering saya tonton waktu masih tinggal di Jepang adalah Kissiya. Ini singkatan dari kisu dake jya, iya. Artinya kalau diterjemahkan dalam bahasa gaul “kalau cuma cium sih, ogah”. Isi acara ini, seperti dari namanya, adalah liku-liku hubungan seksual. Acara diasuh oleh komedian kawakan, Shinnosuke Shimada.

Acara dikemas dalam format talk show, dipadu sedikit dengan reality. Biasanya ada seseorang, atau pasangan yang mengadukan masalah seksual yang dia hadapi, lalu program itu membantu menyelesaikan masalahnya. Tentu saja format acara secara keseluruhan mengalir secara kocak, karena dipandu oleh seorang pelawak.

Salah satu cerita di acara itu yang masih saya ingat adalah tentang seorang gadis berusia sekitar 23 tahun. Dia sudah punya pacar. Dan dia masih perawan. Dia merasa sudah tidak patut untuk tetap perawan di usia tersebut. Dia ingin melakukan hubungan seks, tapi bingung bagaimana memulainya. Bingung, sekaligus takut. Juga malu untuk mengkomunikasikannya dengan sang pacar.

Melalui beberapa perbincangan lucu akhirnya si gadis berhasil diyakinkan bahwa hubungan seks, termasuk yang pertama kali harus berjalan secara natural tanpa tekanan. Tentu saja disertai nasehat konyol kepada si pacar, tentang bagaimana seks yang pertama kali harus dilakukan.

Acara ini bagi saya informatif. Dalam arti dari acara tersebut saya mendapat gambaran tentang presepsi orang Jepang terhadap seks, serta bagaimana peri laku mereka. Secara umum saya melihat orang Jepang sekarang seperti OKB dalam hal seks. Iklim seks bebas sudah ada. Artinya sudah lazim orang melakukan hubungan seks tanpa ikatan pernikahan. Tapi pada saat yang sama, orang-orang Jepang itu tipikal orang Asia yang masih pemalu.

Kebebasan dalam hal hubungan seksual di masyarakat Jepang saya rasakan saat saya menghadiri sebuah resepsi pernikahan seorang teman. Satu-satunya resepsi pernikahan yag saya hadiri selama saya di Jepang. Di acara itu disajikan presentasi tentang sejarah hubungan kedua mempelai hingga mereka ke pelaminan. Menjelang akhir presentasi ditunjukkan foto hasil tes urin yang menunjukkan mempelai perempuan positif hamil, yang kemudian membuat pasangan ini memutuskan untuk menikah.

Saya masih menemukan istilah dekichatta kekkon, pernikahan karena si perempuan terlanjur hamil. Adanya istilah ini sebenarnya menunjukkan sisa-sisa iklim konservatif, di mana kehamilan atau hubungan seksual seharusnya dilakukan sebelum pernikahan. Tapi nampaknya istilah ini akan berganti menjadi dekita kekkon. Dekichatta adalah bentuk non-formal dari dekite simatta. Ungkapan dengan tte-shimatta biasanya untuk menunjukkan sesuatu tidak diinginkan, terlanjur, dan juga tidak terlalu baik. Dekita, merujuk pada kehamilan bermakna lebih datar, hanya kehamilan biasa, bukan sesuatu yang patut disesali. Bergesernya ungkapan dari dekichatta kekkon menjadi dekita kekkon menunjukkan pergeseran presepsi masyarakat terhadap hubungan seksual pra nikah.

Anak-anak muda Jepang memang sudah menganggap hubungan seks di luar nikah sebagai hal yang lumrah. Para orang tua nampaknya masih setengah-setengah. Dalam arti, sebagian masih ingin agar tradisi lama dijaga, tapi tak kuasa menahan gempuran arus kebebasan.

Yang mengkhatawirkan adalah euforia kebebasan yang berlebih. Yaitu kebebasan tanpa batas, seperti hubungan seks di usia dini. Konon, anak-anak di Jepang sudah mulai berhubungan seks sejak usia SMP. Juga, karena seks belum jadi topik pembicaraan terbuka, banyak anak muda melakukan hubungan seks tanpa pengetahuan, sehingga gampang terjerumus pada seks yang tidak sehat.

Ini masih ditambah dengan masalah pelacuran tak resmi, di mana anak-anak perempuan muda berhubungan dengan laki-laki yang lebih tua untuk mendapatkan imbalan uang, yang disebut dengan istilah enjyo kousai.

Saya tak tahu persis, sejak kapan masyarakat Jepang menjadi bebas dalam hal seks. Dugaan saya erat ini terjadi bersamaan dengan berkembangnya ekonomi Jepang sejak akhir dekade 60-an, hingga ke masa booming tahun 80-an.

Tak banyak saya lihat institusi atau regulasi yang mengontrol kebebasan seksual di Jepang. Penerbitan majalah/buku yang memuat gambar telanjang demikian bebas. Demikian pula video porno. Waktu saya baru-baru datang di Jepang tahun 1997 saya masih menemukan buku/majalah yang memuat gambar telanjang dijual bebas di convenient store. Untuk membeli memang dibatasi bagi usia 20 tahun ke atas. Tapi karena tidak disegel, siapa saja bisa melihat isi majalah itu di toko tersebut. Belakangan diberlakukan aturan wajib segel.

Adapun pelacuran, secara resmi hukum Jepang melarangnya. Dalam arti, layanan seksual yang membolehkan intercourse. Tapi tidak ada larangan bagi yang diluar itu, seperti layanan oral seks. Layanan prostitusi di Jepang biasanya disertai dengan term and condition bahwa layanan intercourse tidak diberikan. Tapi siapa yang menjamin hal itu tidak terjadi?

https://budayajepang.wordpress.com

Dipublikasi di Bahasa, Keluarga, Sosial | 3 Komentar