Tahun 2001. Saya masih tinggal di Kumamoto, Jepang. Suatu hari ada orang Jepang menelepon ke apartemen saya. Ia mengaku mendapat nomor telepon saya dari International Center. Saya ingat, saya pernah memasang pengumuman, tawaran mengajar privat bahasa Inggris atau bahasa Indonesia. Saya mencantumkan nomor telepon saya di situ. Si penelepon ini tak hendak belajar. Ia hanya ingin berteman dan mengenal budaya Indonesia. Ia mengajak saya bertemu di sekitar kampus untuk makan siang. Pertemuan itu saya setujui. Kami bertemu, makan siang, berbincang, lalu bubar.
Setelah itu dia rutin menelepon saya, minimal 2 minggu sekali. Padahal kalau bertemu juga tidak banyak pembicaraan tentang Indonesia. Dia lebih banyak bertanya soal aktifitas kami mahasiswa muslim di Kumamoto. Saya jawab seadanya. Tapi saya tidak berminat lagi untuk berteman dengan orang ini. Rasanya aneh. Tadinya saya menduga dia ini gay. Maka, dengan berbagai alasan itu saya putuskan untuk tidak meladeni permintaan dia. Waktu-waktu berikutnya selalu saya tolak undangan dia dengan alasan sibuk.
Selang beberapa bulan setelah itu dia menelepon, meminta dengan sangat untuk bertemu saya. Tak nyaman sebenarnya, tapi saya temui juga. Rupanya dia hendak pindah ke kota lain, dan dia memperkenalkan saya kepada temannya, yang juga tertarik pada Indonesia. Wah, saya makin merasakan aneh. Mereka berdua menawarkan, kalau saya butuh bantuan saya diminta menghubungi, dia akan membantu. Teman yang diperkenalkan ini terlihat lebih ramah dan bersahabat. Saya iyakan saja, meski saya curiga.
Suatu hari saat makan siang saya tanya saja dia secara terus terang. “Sebenarnya Anda ini siapa, dan mau apa?” tanya saya. Agak kaget dia, tapi kemudian dia menjawab pertanyaan saya. Dengan jujur. Dia, dan teman dia yang sudah pindah itu, adalah intel. Di Jepang mereka disebut “kouan keisatsu”. Tugasnya adalah memantau situasi keamanan publik, mengumpulkan informasi tentang ancaman keamanan yang mungkin timbul. Persis tak lama setelah peristiwa 9/11, tugas mereka semakin diperketat.
Mengapa saya didekati? Karena saya seorang muslim, dan saya waktu itu adaah ketua Moslem Student Association. Tapi saya justru menjadi tenang setelah semua jelas. Aktivitas kami murni ibadah ritual, jadi tak ada yang perlu saya rahasiakan. Malah saya ajak dia untuk ikut melihat salat Jumat kami, tapi dia menolak. Yang jelas saya tahu dia punya kepentingan, saya tak sungkan lagi untuk minta bantuan. Ada take and give, pikir saya.
Saat saya butuh kendaraan, saya minta dia datang dengan mobil untuk mengantar saya. Waktu anak saya lahir, saya lupa memohon visa buat dia. Saya baru sadar 6 bulan kemudian, dan anak saya sudah dinyatakan overstay sejak lahir. Waktu itu saya harus mengurus masalah ini ke Fukuoka, 2 jam perjalanan dari Kumamoto. Saya telepon orang ini untuk berkonsultasi. Entah bagaimana ceritanya, tak lama setelah itu ada telepon dari kantor imigrasi yang memberi tahu saya bahwa saya tidak perlu ke Fukuoka, urusan cukup diselesaikan di kantor imigrasi setempat.
Banyak lagi bantuan yang dia berikan kepada saya. Dan setiap ditanya soal aktivitas kami, selalu saya jawab dengan jujur. Waktu saya pulang liburan ke Indonesia, saya minta dia mengantar sampai ke airport di Fukuoka. Waktu pulangnya dia juga menjemput. Nah, saat saya hendak berangkat, dia menyerahkan amplop. Saya tanya, ini apa? Dia jawab, sejumlah uang. Untuk apa? Dia membutuhkan informasi tentang aktivitas Islam garis keras di Indonesia. Dia minta saya mencarikan kontak. Saya tolak. Bukan apa-apa, saya memang tidak punya kontak itu. Tapi dia bilang, bawa saja uang itu, untuk nraktir teman-teman yang bisa memberi informasi. Dengan perasaan aneh amplop itu saya terima.
Di Jakarta saya kebetulan bertemu dengan kawan, seorang aktivis Hizbut Tahrir yang bekerja sebagai pengacara. Saya ceritakan kejadian itu. “Kasih saja nomor saya, suruh dia telepon saya. Biar saya beri dia informasi yang dia butuhkan.” kata teman saya itu. Dengan itu saya merasa nyaman membuka amplop tadi dan memakai uangnya.:D
Sepulangnya saya ke Jepang saya serahkan kartu nama teman saya tadi, dan meminta intel tadi untuk menghubungi dia. Tapi dia meminta saya untuk mendampingi sebagai penerjemah. Saya tolak permintaan itu. Tak lama setelah itu saya membeli mobil dan tidak butuh lagi bantuan-bantuan dari dia, saya tolak telepon dan undangan dari dia. Sejak itu kemudian kontak kami semakin jarang. Lalu dia berhenti mengontak saya.