Oyabaka, Oyagokoro

Dua istilah ini adalah istilah dalam bahasa Jepang. Oya (親)artinya orang tua (parent). Baka artinya bodoh. (Dalam format makian, kata baka ini kerap di digandeng dengan kata yarou sehingga lengkapnya berbunyi bakayarou artinya kurang lebih “si bodoh”. Dalam pelajaran sejarah kita mengenalnya sebagai kata bagero.) Sedangkan kata gokoro berasal dari kata kokoro” yang sudah mengalami perubahan ucapan. Kokoro artinya hati. Kita mengenal kata ini dari lagu Kokoro no tomo (Tambatan Hati).

Oyabaka dapat kita maknai sebagaimana makna lateralnya, kebodohan orang tua (bapak/ibu). Ini adalah sesuatu yang universal sifatnya. Orang tua pasti mencintai anak-anaknya. Dan cinta itu buta lagi membutakan. Juga bodoh, dan membuat orang bodoh. Artinya, rasa cinta pada anak-anak dapat membuat seseorang jadi bodoh. Wujud kebodohan itu adalah perasaan subjektif orang tua yang membuat anak-anaknya selalu terlihat baik.

Kalau oyabaka ini kita umpamakan seperti penyakit, kita bisa klasifikasikan ke dalam beberapa kelompok. Ada yang masuk kelompok ringan. Ini biasanya dialami oleh orang-orang yang baru punya anak. Sangat alami bahwa dia akan merasa anaknya cantik, ganteng, menggemaskan. Ia akan mengabaikan pendapat-pendapat lain yang berbeda tentang anaknya.

Gejala oyabaka stadium ringan salah satunya adalah gemarnya seseorang mengumpulkan foto-foto anak, dan memajangnya. Di era Facebook ini gejala oyabaka berjejer dengan sindrom narsis si empunya Facebook. Selain memajang foto diri, disertai pajangan foto anak-anak.

Anak-anak selalu manis, selalu menyenangkan. Selalu baik di mata kita. Tapi, itu tadi, mata kita sendiri kadang tertutupi oleh perasaan. Kita kemudian kehilangan objektivitas. Saat anak-anak kita sudah besar, beberapa tingkahnya tak lagi manis. Ada yang menyakitkan, ada yang berbahaya dan harus dihentikan. Tapi lagi-lagi kita tak jarang membohongi diri, bahwa anak kita baik dan manis. “Right or wrong, it’s my kid.” Ini mulai jadi masalah, dan tak jarang jadi masalah gawat.

Secara internal kadang kita mengakui bahwa anak-anak kita itu salah, tidak baik. Tapi sikap yang keluar dari tubuh kita bertolak belakang dengan hal itu. Tanpa sadar kita tidak lagi sedang mencurahkan kasih sayang yang baik bagi anak-anak kita. Tapi kita sebenarnya kita sedang menjerumuskannya ke jurang.

Saya teringat jaman saya masih kecil dulu. Abang saya, guru SMP, bercerita tentang seorang pejabat di daerah. Anaknya bersekolah di tempat abang saya mengajar. Saat kenaikan kelas, anak tersebut tidak naik. Si Bapak, dengan kekuasaannya, meminta guru untuk menaikkan. Guru, tentu sulit melakukan hal ini . Akhirnya diambil “jalan tengah”. Anak tadi dinaikkan kelasnya, tapi dia harus pindah ke sekolah lain.

***

Oyagokoro adalah hati subjektif orang tua. Inilah (barangkali) sumber penyakit oyabaka tadi. Hati orang tua yang tidak hanya memandang anaknya selalu manis dan baik. Tapi juga selalu berusaha memberikan perlindungan, apapun bentuknya, berapapun biayanya. Hati yang dewasa memberikan perlindungan dalam wujud yang positif. Sebaliknya, hati yang kekanak-kanakan memberikan sesuatu yang diniati untuk melindungi, tapi sebenarnya justru menjerumuskan.

Oyagokoro, hati subjektif orang tua, kadang lambat menyadari bahwa anak-anak tidak lagi kanak-kanak. Di mata orang tua, anak-anak selalu kecil, dan layak diperlakukan sebagai anak-anak. Uniknya, hampir semua bahasa, termasuk bahasa Jepang, tidak membedakan kosa kata “anak” untuk pengertian “muda usia” dengan “keturunan”. Anak, dalam hati subjektif orang tua, selalu anak yang muda usia, tak peduli keduanya (orang tua dan anak) sudah sama-sama berada di usia manula.

Dulu, ketika saya kuliah di Jepang, saya sering dimarahi oleh Sensei saya. Khususnya saat-saat awal saya berada dalam bimbingan dia. Beberapa kejadian memang karena saya berbuat salah. Beberapa kejadian lain karena mis-komunikasi. Tapi ada beberapa kasus yang menurut saya sudah berlebihan. Ketika menyadari dia berlebihan, Sensei pernah meminta maaf dan menjelaskan. “Ini masalah saya, masalah oyagokoro. Saya kebetulan punya anak yang seumur dengan kamu. Jadi, tak jarang saya melihat kamu itu sebagai anak-anak.” katanya.

Pos ini dipublikasikan di Keluarga, Pendidikan, Uncategorized. Tandai permalink.

Tinggalkan komentar